Mungkin itu sebabnya Queen menciptakan lagu Crazy Little Things Called Love.
Karena yang membuat kita merasa hidup, merasa sayang, cinta, tidak selalu hal-hal besar.
Seperti merasakan nikmatnya harum seduhan kopi panas di pagi hari.
Atau suara rintik hujan.
Menemukan Ibu bebek dan ketiga anaknya di selokan sewaktu berjalan kaki menuju kantor.
Senja.
Membaca buku kesukaan.
Merasakan hangat dan beratnya si kucing yang duduk di pangkuan.
Dijemput di bandara oleh anggota keluarga atau orang yang kita cintai.
Mendapatkan sms atau bbm yang bertanya apa kabarmu? Kangen!
Sepertinya daftar hal-hal kecil yang membuat hati ini ringan dan garis bibir melekuk ke atas tidak akan pernah habis ditulis.
Tapi kalau dipikir-pikir, banyak juga kemarahan yang dirasakan ternyata bermula dari hal-hal kecil.
Seperti pandangan mata, yang terjadi pada cerita berikut ini (Jreng..jreng…jreng…#backsound).
Saya sangat menyayangi kakak dan adik saya, Mila dan Linda. Biarpun jarak kami kata orang cukup jauh, sekitar tujuh tahun dengan kakak dan lima tahun dengan adik, dalam pandangan saya, hubungan kami termasuk sangat baik. Kami semua suka musik, sushi, dan nonton. Kami juga saling tahu apa kelebihan dan kekurangan kami dan menerima tanpa syarat bahwa itulah masing-masing dari kami. Kakak saya kidal dan hobi mendesain website serta segala hal berbau Korea, sangat ramah dan cenderung kekanak-kanakan. Sering saya atau adik saya jadikan sasaran protes, tapi ia paling sabar di antara kami semua. Sementara saya total mencintai buku, tertarik dengan segala yang berbau budaya terutama Jepang dan pendidikan, dan entah mengapa banyak orang yang mengira saya anak sulung. Mungkin karena suka merintah-merintah (haha) dan kadang-kadang dijadikan tempat bertanya (ehem, kalo emang lagi normal). Adik saya? Menurut saya dialah yang paling pintar dalam keluarga kami. Ia berjiwa paling sosial, suka crafting, backpacking, serta menjadi magnet dalam dunia persawahan…eh…pertemanan. Perbedaan menjadi sudah biasa dalam kehidupan keluarga kami dan tampaknya sejak kecil kedua orangtua kami membiarkan kami tumbuh apa adanya. Mungkin itu sebabnya tidak ada satu pun dari kami yang masuk ke SMU bahkan universitas yang sama. Kami pun tumbuh dengan kondisi cukup terbuka mengenai pendapat masing-masing, bisa saling tarik urat leher kalau sudah tidak setuju, tapi setidaknya kami selalu berusaha menjaga satu sama lain.
Namun biarpun saya merasa sangat mengenal kakak dan adik saya, setiap kali pasti saya merasa belajar hal baru mengenai mereka. Kadang saya merasa mengapa saya tidak mengetahui hal itu? Atau mengapa ia tidak memberitahu saya mengenai hal ini? Hal-hal yang kadang membuat saya bertanya-tanya apakah saya sudah cukup mengenal mereka. Saya rasa pembelajaran mengenai orang-orang yang kita kenal dan cintai akan berlangsung seumur hidup. Dan penting sekali mempelajari hal-hal kecil, karena di sanalah awal mula hal-hal besar.
Tadi malam saya belajar cukup banyak mengenai hal kecil yang menurut saya penting, namun sering saya lupakan.
Awalnya pembicaraan kami ringan-ringan saja. Saya sedang membaca (ehem…yah…namanya juga hobi…jadi di mana pun saya berada, kecuali sedang tidur dan di kamar mandi, umumnya saya akan ditemukan dalam kondisi…membaca) buku fiksi ketika melontarkan sekelumit impian saya untuk memiliki toko buku. Toko buku yang bukan sekedar jualan buku. Namun sebelum saya selesai berkicau panjang lebar tentang toko buku idaman saya itu, adik saya, yang saat itu sedang melakukan sesuatu pada wajahnya di meja rias pun merespon dengan bertanya, emang budgetnya berapa?
Ketika menulis ini tampaknya percakapan kami biasa saja. Tidak ada yang aneh dengan perkataan saya maupun pertanyaan adik saya. Normal.
Tapi saya belajar bahwa kata-kata yang kita ucapkan memang jauh lebih sedikit artinya dibandingkan dengan bahasa tubuh dan emosi yang kita rasakan. Cara adik saya bertanya, pandangan mata, posisi alis dan dagu, dipadu dengan perasaan saya saat itu, membuat saya menginterpretasikan pertanyaannya menjadi: emang serius mau bikin toko buku? Emang bisa untung? Emangnya berani keluar duit berapa? Investasi yang kecil aja mikirnya berkali-kali, sok-sok mau bikin toko buku.
Dan saya pun mulai menjawab dengan nada sengit bahwa yang penting itu konsep dulu. Budget bisa dicari. Kalau apa-apa dimulai dari budget tanpa jelas konsepnya, maka itu namanya sekedar jualan. Hasilnya seperti dua toko buku di Balikpapan yang baru-baru ini tutup. Mereka, menurut saya, sekedar toko. Tidak terlalu peduli tentang komunitas pembaca, tidak peduli pentingnya ada toko buku yang menjual buku-buku bermutu yang variasinya tidak hanya karya lokal tapi juga internasional bagi penduduk kota Balikpapan.
Sebenarnya kalau saja saya berhenti di situ, maka perdebatan panjang yang membuat dada ini panas tidak perlu terjadi.
Tapi salah satu kekurangan saya adalah cenderung mengatakan apa yang saya pikirkan. Jadi saya teruskan pendapat saya mengapa konsep itu penting dan saya ingin bahwa saya selesai dulu berdiskusi tentang konsep, baru bicara budget.
Kalau kami ini kucing, mungkin sudah saling mendekatkan kepala dengan telinga memipih, bulu-bulu kami tegak dan ekor kami kaku, saling mengeong keras siap untuk mencakar.
Tapi seperti ada seseorang yang menyiramkan air, masing-masing dari kami mengerti saatnya untuk saling tutup mulut dan menahan diri.
Perdebatan itu ditutup dengan kesimpulan bahwa saat itu kami berdua belum bisa melakukan bisnis bersama dalam dunia perbukuan. Ada banyak getaran penuh tegangan di sana, rasa panas di dada saya masih terasa. Saya yakin adik saya pun demikian.
Tapi satu yang pasti, saat itu kami tidak merasakan titik temu.
Rupaya jualan saya kurang laku.
Kalau di kantor dan adik saya adalah Bu Boss, she’s not buying it.
But you know what?
Ini terjadi juga dengan adik saja.
Ia menekankan pentingnya budget dulu, supaya bisnisnya realistis dan bisa langsung jalan.
I was not buying it.
Bukan karena argumen saya ataupun adik saya salah. Saya yakin betul bahwa tujuan dan konsep yang baik dan jelas sangat penting dalam memulai suatu usaha, kegiatan, tindakan, apa saja. Strategi serta taktik supaya misi bisa tercapai adalah yang berikutnya. Saya dan adik saya sama-sama mempelajari marketing dan pola pikir seperti itu bukan hal asing bagi kami. Dan budget? Sudah pasti penting. Apalagi dalam bisnis.
Tapi mengapa ide dan perkataan saya mental? Dan mengapa jualan adik saya tentang pentingnya mulai dari budget supaya suatu bisnis itu realistis juga tidak masuk ke kepala saya (atau setidaknya saya tidak setuju hal itu jadi yang utama)?
Setelah merenung-renung, mengalihkan pembicaraan dan memutuskan untuk menyimpan apa pun perasaan saya sampai esok harinya, akhirnya saya berkesimpulan, penyebab utama jualan saya maupun adik saya kurang laku adalah bukan karena isi kata-katanya, tapi lebih karena cara mengatakannya.
Kami berdua sama-sama menggunakan cara yang kurang tepat ketika menjual ide kami.
Cara tersebut mungkin hanya tersirat, tidak terucap kata ataupun suara keras, dan dalam durasi yang bisa lebih cepat dari langkah kaki. Namun hal itu dapat mengungkapkan segalanya. Termasuk penghinaan yang meremukkan hati.
Seperti…pandangan mata.
Kerut di kening yang membuat kita menangkap maksud bahwa “Anda meragukan saya”.
Dengusan kecil.
Gerakan mengangkat bahu.
Atau sekedar membuang muka.
Saya percaya masyarakat Indonesia secara umum memang memiliki bahasa yang lebih banyak tersirat daripada tersurat. Saya pribadi cenderung lebih suka tersurat. Apa yang saya ucapkan itulah yang saya rasakan. Tapi ternyata dalam menjalin hubungan, saya tetap harus menghormati pilihan dan kebiasaan orang lain yang lebih suka menyimpan perasaannya. Dan salah satu cara paling efektif dan strategis ketika menghadapi perbedaan pendapat kadang-kadang justru dengan diam, mulai mendengarkan lebih banyak.
Saya belajar hari ini bahwa kita harus lebih menghargai dan waspada terhadap hal-hal kecil.
Menghargai dan mensyukuri hal kecil yang sifatnya menyenangkan hati. Waspada dengan berusaha sekuat tenaga untuk menguatkan hati agar tidak bertindak ceroboh ketika menghadapi hal kecil yang sifatnya menggoda kerut dahi, pedasnya lidah, ataupun kerasnya kepalan tangan.
Mencoba bersungguh-sungguh membuat orang lain menjadi penting.
Karena mereka memang penting.
Karena saya cinta.
Dan saya ingin mereka pun merasakan hal yang sama.
Maka untuk sesuatu yang penting, untuk sebuah cinta, saya belajar hal-hal kecil dan detil itu harus diperhatikan dan tidak boleh terlewatkan.
Karena hal-hal besar, berasal dari hal kecil.
Sebatang pohon cinta, haruslah disiram, diberi pupuk, dan didoakan agar terus tumbuh besar dan tetap hidup.
Selamanya.
@Bandungwithmyfamilywaitingforthespanishdish
